Sabtu, 29 Desember 2012

Review [un]affair oleh Hindraswari Enggar di Blog Resensi Buku

Judul: [Un]affair
Penulis: Yudhi Herwibowo
Penerbit: bukuKatta
Tebal: 170

“Pertemuan itu sebenarnya mudah saja. kita yang membuatnya menjadi rumit.” (halaman 70)

Tokoh di buku ini bernama Bajja. Bajja adalah lelaki penyuka hujan. Selepas kuliah ia memutuskan untuk pindah ke sebuah kota kecil. Kota Sendu sebutannya, kota di mana mendung, gerimis, dan hujan senantiasa hadir. Di sini Bajja bekerja sebagai desainer grafis di sebuah percetakan buku. Suatu hari di perhentian sebuah kereta ia bertemu dengan seorang perempuan yang menarik perhatiannya. Nama perempuan itu Arra, yang kelak menjadi pelanggannya.

Arra adalah sosok perempuan muram. Ia tak banyak bicara seperti juga kehadirannya yang seperti angin. Ada kalanya ia menghubungi dan menemui Bajja, untuk kemudian berhari-hari menghilang. Dan di saat Bajja lelah menunggu, Arra selalu datang kembali.

“tapi selalu saja, bila suasana hatiku tengah begitu buruk, aku sama sekali tak bisa menolak untuk kemari.” (halaman 84)

Bajja tidak pernah menolak kedatangan Arra. Walau ia juga tidak berani berharap lebih pada hubungan mereka, karena ia tahu Arra telah memiliki seorang kekasih. Sampai suatu ketika surat undangan diselipkan Arra di bawah pintu rumahnya.

Sementara itu, Canta, mantan pacar Bajja memutuskan untuk menerima tawaran bekerja di kota Sendu. Kedatangan Canta di kota Bajja membangkitkan kembali kenangan pada cinta yang pernah hadir diantara mereka. Canta yang masih menyimpan rasa cinta. Dan Bajja yang masih belum bisa melupakan sosok Arra.
“udara ini dipenuhi oleh zat-zat untuk melupakan seseorang.”

“Rasanya ketika seseorang yang pernah sangat istimewa bagi kita berkata secara langsung bila ia berusaha melupakan kita, sepertinya kita tak akan sepenuhnya ikhlas mendengarnya.”(halaman 119)
Saya membeli novel ini karena tertarik membaca resensi salah seorang teman BBI. Ya, itu sudah pasti, teman-teman di BBI ini memang menuangkan racun berbisa :) .

 Yang saya suka dari novel ini adalah kalimat indah yang dirangkai dengan manis oleh penulisnya. Sederhana tapi puitis. Ceritanya sendiri sebenarnya sederhana, tapi dialog dan renungan dari para tokohnya mampu melarutkan perasaan kita sebagai pembaca. Tutur bahasanya juga rapi. Beberapa kalimatnya mampu membuat saya mengingat kenangan-kenangan masa muda dengan nuansa yang lebih dewasa.. halah..hehehe. Tidak menya-menye tapi oke :)


http://buku.enggar.net/2012/12/10/974/

Kamis, 22 November 2012

[Un]affair By Yudhi Herwibowo, review Annisa Anggiana di My Book Reviews Corner

Penerbit : Bukukatta
Tebal : 169 Halaman
“Kenapa sebuah lagu bisa diterima di semua tempat, di semua negara? Musik memang universal, tapi kisah dibalik lagu itulah yang membuatnya semakin diterima. Itu artinya sebuah kejadian seperti dalam lagu itu ternyata terjadi pula di tempat-tempat lain. Jadi seseorang seharusnya tidak perlu terlalu sedih akan sesuatu, karena di tempat lain pun, ada orang yang bersedih karena hal yang sama.”
Aaaakkhh ternyata Yudhi Herwibowo kalo menulis romance baguuuss ^_^ hehe.. Udah ada feeling waktu baca Perjalanan Menuju Cahaya, kayaknya kalo nulis drama atau romance bakalan sedih ceritanya dan ternyata ngga jauh2 tuh.. Hehe.. Because sometimes sad ending does make a story felt more real.. Life ain’t a fairy tale right?
Buku ini berkisah tentang seorang pemuda bernama Bajja yang memilih untuk berkerja dan tinggal di sebuah kota kecil bernama Kota Sendu. Kota Sendu? Iya.. Sebuah kota kecil dimana hujan selalu datang, dihiasi oleh taman yang dilengkapi dengan bangku-bangku untuk menghabiskan waktu, sebuah toko buku tua di pojokan jalan dan cafe dimana seseorang bisa membunuh malam dengan nyamannya. Akhhh semakin dijelaskan semakin saya ingin terjun masuk ke dalam buku dan tinggal di kota sendu ini.
Kembali ke cerita Bajja.. Huuumm.. Saya punya teori gila kalo sebenarnya setiap manusia hidup di frekuensi jiwa (soul) yang berbeda-beda. Dan bisa menemukan seseorang yang berada di frekuensi jiwa yang sama untuk menjadi sahabat, pasangan hidup atau sekedar rekan kerja adalah anugrah yang luar biasa. Dan biasanya jika kita menemukan seseorang yang berada dalam frekuensi yang sama, semua hal akan bergulir begitu saja seperti memang sudah digariskan, bagaikan potongan puzzle yang akhirnya menjadi masuk akal dan membentuk sebuah gambar yang berarti. Tiba-tiba kita seperti telah mengenal orang tersebut begitu lama, bisa saling memahami tanpa banyak bicara.
Saya rasa itu yang terjadi ketika Bajja dan Arra saling menemukan. Sayangnya Arra sudah memiliki kekasih, walaupun dari apa yang diceritakan, sepertinya orang itu lebih banyak membawa kesedihan daripada kebahagiaan buat Arra.
Pertemuan Arra dan Bajja bisa dihitung oleh jari, namun memang tidak akan butuh lama untuk dua orang dalam frekuensi yang sama untuk saling mengenal, dan prosesnya memang sulit untuk dijelaskan. Terjadi begitu saja.
Di pertemuan terakhir Arra mengabarkan bahwa ia telah dilamar oleh kekasihnya, dan tidak pernah muncul lagi di kehidupan Bajja. Undangan pernikahan datang ke rumahnya tidak lama setelah itu. Kehampaan yang khas ketika seseorang baru saja mengalami perpisahan pun mengisi relung hati pemuda itu.
Sesungguhnya semasa kuliah Bajja memiliki seorang kekasih bernama Canta. Namun ketika lulus karena belum siap dengan rencana apapun mereka menempuh jalan masing-masing.
Siapa sangka kemudian Canta datang ke Kota Sendu. Profesi Canta sebagai dokter memungkinkan dirinya untuk pindah ke kota itu, kota dimana Bajja tinggal. Hari-hari Bajja pun kembali diisi oleh Canta. Namun hidup memang kadang persis seperti panggung sandiwara dimana kita adalah aktornya, namun kita tidak pernah tau skenario apa yang menunggu kita di adegan berikutnya. Sisanya baca sendiri ya! ^_^ hehe..
Hhhhhh.. Jadi pengen tinggal di Kota Sendu..
“Pertemuan itu sebenarnya mudah saja, kita yang membuatnya menjadi rumit.”


http://annisaanggiana.wordpress.com/2012/11/23/unaffair-by-yudhi-herwibowo/

Minggu, 21 Oktober 2012

[un]affair, review Stefanie Sugia Bookie Loocker

Started on: 16.Oktober.2012
Finished on: 16.Oktober.2012

Judul Buku : [un]affair
Penulis : Yudhi Herwibowo
Penerbit : Penerbit Buku Katta
Tebal : 172 Halaman
Tahun Terbit: 2012

Rating: 3/5
"Aku tahu ini tak salah. Aku hanya seorang manusia di antara bentangan perasaan. Terlalu kecil. Terlalu lemah. Jadi bagaimana bisa aku memilih, bila hati yang kemudian memutuskan? Bagaimana pula aku mengelak, bila otakku tak mau menuruti? Toh, untuk saat ini, aku kembali membela diri, aku hanya berpikir tentang kehadirannya di dekatku. Tak lebih dari itu."
Seorang lelaki bernama Bajja. Sebuah kota yang sendu. Sebuah pertemuan singkat tanpa kata di palang pemberhentian kereta - di sanalah Bajja melihat sosok seorang perempuan yang menarik perhatiannya. Pertemuan singkat itu tentu saja dapat mudah terlupakan, karena keduanya sama sekali tak bertukar sapa. Tetapi apa daya jika takdir mempertemukan Bajja kembali dengan perempuan itu di kantornya. Perempuan itu bernama Arra; datang ke kantor percetakan tempat Bajja bekerja untuk membuat sebuah buku yang akan dijadikan hadiah untuk kekasihnya. Pertemuannya kembali dengan Arra, membuat Bajja tidak bisa lagi melupakan perempuan itu.

Bajja tak berharap banyak pada Arra, karena ia tahu perempuan itu sudah mempunyai pujaan hatinya sendiri. Akan tetapi, keduanya terus bertemu kembali. Awalnya di sebuah kafe; dan kali berikutnya, Arra datang saat hujan turun. Waktu itu tengah malam saat Arra datang ke rumahnya; tanpa penjelasan apa-apa duduk begitu saja di atas sofa usang di ruang tengah. Tak lama kemudian, Arra tertidur di atas sofa rumah Bajja; lelaki itu menatap wajah Arra yang tampak rapuh - meninggalkan banyak pertanyaan yang tak terucap dalam hati Bajja. Namun Bajja harus puas dengan pertemuan singkat itu, karena keesokan harinya Arra sudah hilang, lenyap - tanpa kabar. Saat Bajja sudah berusaha melupakan, perempuan itu selalu kembali datang di saat yang tak terduga dalam keadaan sedih; seolah menjadikan sofa Bajja dan lelaki itu, sebagai tempat pelarian hatinya.
"Aku tahu aku seharusnya memang begitu. Terlebih saat aku tahu ia membuatkan buku untuk kekasihnya! Tapi itu tentu tak mudah. Siapa yang bisa menahan hati untuk tak menemukan? Siapa yang bisa menahan hati untuk tak memilih? Karena kadang mereka bergerak sendiri tanpa kita menyadari!"
Namun apa yang terjadi jika Arra akhirnya benar-benar pergi dan tidak kembali lagi? Bagaimana jika Bajja dihadapkan dengan pilihan lain - kekasih hatinya di masa lalu yang kembali lagi dalam kehidupannya?
Baca kisah selengkapnya di [un]affair.
image source: here. edited by me.
Kesan pertamaku saat menyelesaikan buku ini adalah menyimpulkan bahwa ini adalah sebuah buku dengan cerita galau. Setiap kalimat yang dituliskan, karakternya, bahkan jalan ceritanya sendiri, semuanya menyiratkan kegalauan - bahkan berhasil membuatku ikut-ikutan galau saat membacanya. Tentu saja ini adalah pertama kalinya bagiku membaca karya Yudhi Herwibowo, dan aku cukup terkesan dengan gaya penulisannya yang sangat puitis dan benar-benar sendu; berhasil mendukung mood ceritanya yang juga mellow dan galau.

Sayangnya, entah mengapa aku kurang bisa begitu relate dengan alur ceritanya dan karakternya. Alur ceritanya dari awal datar; kemungkinan besar karena pembawaannya yang selalu sendu. Masalahnya sendiri hanya berkisar antara Bajja, Arra, dan Canta - perempuan dari masa lalu Bajja. Jujur saja, tidak ada konflik yang terlalu emosional terjadi. Karakter-karakter yang ada dalam cerita ini pun tidak begitu mencolok; semuanya adalah tokoh-tokoh biasa, yang mungkin akan sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Karakter Bajja akan selalu aku ingat sebagai cowok yang pikirannya rumit dan galau - mungkin tipikal pemikiran orang yang sedang jatuh cinta. Akan tetapi aku berhasil bertahan membaca kisah ini hingga akhir karena rasa penasaranku tentang apa yang akan terjadi pada kisah cinta Bajja.

Seperti yang sudah aku sebutkan sebelumnya, salah satu kelebihan buku ini adalah penulisan ceritanya dan gaya bahasanya yang mendayu-dayu sekaligus puitis. Ada beberapa bagian yang begitu puitis dan galau, membuatku termenung dan membaca kalimat tersebut berulang-ulang. Kisah ini bahkan menggunakan kata 'engkau' dalam sebuah percakapan - yang sejujurnya adalah sesuatu yang baru pertama kali aku temui. Meskipun begitu, penggunaan tersebut tidak terasa terlalu aneh karena sepanjang cerita mood-nya memang sesuai.

Overall, meskipun aku kurang merasa begitu terikat dengan jalannya cerita buku ini, aku tetap bisa menikmatinya dengan sangat baik - bahkan menghabiskannya dalam jangka waktu kurang dari satu hari. :) *In the end, terima kasih untuk Oky yang telah berbaik hati meminjamkan buku ini untukku ^^ Quote favoritku dari buku ini sebagai penutup:
"Musik mungkin universal, tapi kisah di balik lagu itulah yang membuatnya semakin diterima. Itu artinya sebuah kejadian seperti dalam lagu itu ternyata terjadi pula di tempat-tempat lain. Jadi seseorang seharusnya tak perlu terlalu sedih akan sesuatu, karena di tempat lain pun, ada orang yang bersedih karena hal yang sama."


http://thebookielooker.blogspot.com/2012/10/book-review-unaffair-by-yudhi-herwibowo.html

[un]affair, review Sulis di Kubikel Romance

Cinta memang tak mengenal tempat dan waktu untuk berlabuh, dia datang sesuka hatinya kepada siapa pun itu. Di sebuah perlintasan kereta api, Bajja menemukan tambatan hatinya, seorang gadis yang berwajah sendu. Bajja begitu tertarik padanya tapi tidak bisa berbuat apa-apa untuk mencari tahu lebih, dia melihat gadis itu hanya sepintas tanpa tahu identitasnya. Keberuntungan datang pada Bajja, suatu hari gadis itu datang ke tempat kerja Bajja dengan tujuan ingin membuat sebuah buku dari hasil tulisannya. Bajja tidak membuang kesempatan itu, langsung menyanggupi dan bertanya siapa namanya, Arra. Bajja ingin sekali tahu apa yang ditulis oleh Arra namun takut akan mengganggu privasinya, tapi bagaimana pun Bajja harus tetap membacanya selain dia bertugas mencetak dan 'merapikan'. Kenyataan pahit di dapat, buku itu dibuat untuk kekasih Arra.

"Mungkin terasa berlebihan. Aku sadar, saat itu atau pun sekarang, aku terlalu terbawa perasaan. Semu seakan begitu mudah menggiringku. Hanya sesuatu yang kecil saja, dapat melemparku dalam frame-frame lain yang tak kupahami."
Bajja kecewa, tapi dia tetap menerima Arra ketika gadis itu datang ke rumahnya, duduk di sofa usang dan merenungkan kehidupannya yang tampak dari luar banyak masalah. Bajja hanya bisa memandangnya tanpa bertanya apa yang terjadi. Dia menyediakan tempat untuk Arra, hatinya, rumahnya, sofanya. Kemudian Arra menghilang tanpa kabar, datang kembali, menghilang tanpa kabar lagi, dan terakhir yang sangat membuat Bajja terluka adalah ketika ada undangan pernikahan untuknya dari Arra. Sejak itu, Bajja ingin melupakan Arra, gadis sendu yang telah membuat hatinya kacau. Bajja belajar move on ketika mantan pacarnya datang lagi, Canta. Tapi, rasa yang dulu perneh mereka rasakan kini berubah, bagaimana pun usaha Bajja untuk melupakan Arra tidak pernah berhasil.

Pertama kali baca bukunya mas Yudhi, padahal udah beberapa kali ketemu, ihik, jadi malu. Mungkin sudah banyak yang tahu kalau mas Yudhi ini lebih familier dengan buku-buku bertemakan sejarah atau komedi, dan itu bukan cangkir teh saya, jadi maklum dong kalau saya baca buku romance pertama yang dia tulis #ngeles . Karena belum pernah baca bukunya yang lain, saya belum terbiasa dengan gaya penulisannya. Di buku ini deskripsinya bagus, luas, menggunakan bahasa baku namun tidak kaku. Bakat menulis cerita humor juga dia tuangkan di buku ini, contohnya adalah beli nisan satu gratis satu dan ketika Bajja ketemu Wara, ehm pasti deh langsung bikin senyum-senyum., Bajja jadi ketauan kalau dia punya selera humor. Berbeda kalau ketemu Arra, dia akan menjadi mellow, nggak banyak bicara, cenderung malu. Kalau ketemu Canta, dia bisa menjadi seorang cowok penggombal. Untuk karakter Arra, dia tidak banyak dibicarakan, sangat misterius, yang saya tahu tentang dia adalah pacarnya sering berbuat kasar padanya, seorang penyendiri dan pendiam. Selain kedua karakter utama itu, karakter lainnya tidak dijelaskan secara detail oleh penulis, penulis lebih memusatkan atau mendiskripsikan suasana. Selain karakter tokoh yangntidak dijelaskan dengan detail, settinggnya pun juga, kota sendu, kota yang sering kedatangan hujan.

Minim typo, saya suka covernya, dari ketiga pilihan yang ada di sini saya setuju dengan pengambilan cover sofa ini, sofa adalah saksi kisah cinta Bajja dan Arra, jadi pas. Sayangnya, saya agak terganggu dengan penempatan sepatu merah dan majalah, lebih enak kalau hanya sofa saja, merusak pemandangan. Kemudian saya juga agak terganggu dengan seringnya tanda "!" di akhir kalimat (tanda seru dipake sesudah ungkapan atau pernyataan yang berupa seruan atau perintah yang menggambarkan kesungguhan, ketidak percayaan, atau rasa emosi yang kuat,sumber) mungkin penulis bermaksut menegaskan, tapi ketika membacanya itu malah membuat saya terganggu. Kemudian, saya tidak terlalu suka dengan endingnya, kasihan Bajja, .

Bagian yang paling mengharukan menurut saya adalah ketika Arra menyobek-nyobek buku yang sudah dibuat Bajja, kemudian Bajja memperbaikinya lagi, mencoba kembali seperti semula. Bajja kebaikan deh sama Arra.
"Aku tahu ini tak salah. Aku hanya seorang manusia diantara bentangan perasaan. Terlalu kecil. Terlalu lemah. Jadi bagaimana bisa aku memilih, bila hati yang kemudian memutuskan? Bagaimana pula aku mengalah, bila otakku yang tak mau menuruti? Toh, untuk saat ini, aku kembali membela diri, aku hanya berpikir tentang kehadirannya di dekatku. Tak lebih dari itu."
Buat yang ingin tahu gimana romantisnya mas Yudhi, baca deh buku romance pertamanya ini

3 sayap untuk wajah sendu di kota sendu



http://kubikelromance.blogspot.com/2012/10/unaffair.html

Minggu, 07 Oktober 2012

[un]affair, [un]forgetable, [un]predictable, review Ary Yulistiana (penulis 100th Dragonfly)



Sebuah catatan kecil dari novel [un]affair karya Yudhi Herwibowo

Ihwal terbitnya novel ini saya ketahui dari kolom berita sebuah surat kabar lokal, yang memuat profil penulisnya. Dalam kesempatan tersebut, sang penulis (siapa lagi kalau bukan Yudhi Herwibowo) mengatakan akan segera meluncurkan novel berikutnya yang bergenre cinta. Diakuinya novel tersebut merupakan novel pertamanya yang bergenre cinta, ehm. Langsung terbayang di benak saya deretan karya penulis yang sungguh baik hatinya itu, mulai dari cerita humor, roman sejarah, sampai kisah-kisah inspiratif

Dan pada sebuah akhir pekan, saya mencari buku tersebut di Gramedia. Karena malas mencari secara langsung karena banyaknya display di berbagai rak dan meja, dan sedang terburu-buru, saya langsung menuju ke komputer yang ada di tengah ruangan untuk melacak keberadaan buku tersebut. Perlu beberapa kali ketik juga ketika pencarian. Karena bila hanya diketik unaffair demikian, maka tidak bisa muncul judul bukunya. 

Akhirnya ketemu juga novel tersebut. Ilustrasi covernya sederhana dan bersahaja (itu menurut saya). Sebuah sudut ruangan berlantai papan, dibatasi tembok dengan cat yang mengelupas di beberapa bagian, terkesan dingin, sunyi, dan lapuk. (Nantinya barulah saya memahaminya; Rasanya cukuplah desain cover novel tersebut semuram suasana hati saya selepas menyelesaikan kisah sendunya.) Namun pada saat yang bersamaan tersaji antitesis berupa sofa modern minimalis yang bagus dan bersih, dan... sepasang stiletto merah mengilat.... Sungguh memunculkan banyak dugaan.

Daftar isi yang tersaji, hm, juga tampil beda. Yang biasanya identik dengan kalimat pendek, di novel tersebut daftar isi berupa kalimat-kalimat majemuk yang dinukil dari tiap bagian. Soal jalan ceritanya, saya hanya akan menuliskan sedikit saja, mengingat sudah banyak review sebelumnya atas buku ini.

Terkisah lelaki sederhana bernama Bajja (yang langsung mengingatkan saya pada Wajja, salah satu tokoh di novel Menuju Rumah Cinta-Mu) seorang desainer grafis yang terjebak dengan perasaannya sendiri untuk menjalin kisah dengan gadis bernama Arra. Bermula dari perjumpaan tidak sengaja di dekat palang kereta, berlanjut saat Arra memesan cetak digital buku di kantornya, lalu di kafe V dan pertemuan-pertemuan sendu di rumah kontrakannya, kisah Bajja dan Arra terangkai dengan tidak sederhana. Antara kesedihan, kegamangan dan kerinduan, namun terbungkus dengan romansa, perhatian yang manis, desir yang menyeruak, dan rinai hujan yang kerap menjadi sutradara atas kebersamaan mereka. 

Bajja, lelaki yang membiarkan dirinya untuk menuruti apa yang terjadi. Membiarkan pintu ruang hatinya terbuka dan membiarkan banyak hal begitu saja memporak-porandakan isinya. 

Termasuk pada saat Canta, kisah cintanya yang lama, masuk kembali begitu saja ke ruang hatinya. Sesungguhnya Bajja tak pernah benar-benar sanggup menutup pintu hatinya. Hingga Arra dan Canta berada pada sudut yang tak pernah diduganya. 

Novel yang teramat sendu, teramat menyedihkan. Kepiawaian penulis menyajikan plot dan setting sudah tidak diragukan lagi karena begitu banyaknya karya yang telah ditulis. Membaca halaman demi halaman, saya seakan berada di tempat-tempat dimana mereka berada. Di dekat palang kereta, di kesibukan kantor Vanila Ice Design, menonton Everton di V, kedinginan berhujan-hujan, juga di rumah kontrakan berarsitektur lawas yang berdinding tinggi dan nyaman. Namun di akhir cerita, saya masih juga bertanya-tanya, luka apa sebenarnya leher Arra ketika itu, dan, lelaki bertato kuda berlari di lengan kanan; siapa dia dan bagaimana? 

Dengan kepiawaian sang penulis, apalagi yang bisa ditawar dari novel ini? Rasanya tidak ada. Kalaupun ada, barangkali hanya hal yang tidak terlalu penting dan subyektif dari sudut pandang saya (haha, tentu saja). Subyektivitas saya antara lain: Ketika membaca novel ini, dalam beberapa bagian saya sedikit terganggu dengan gurauan yang coba dihadirkan oleh penulis. Terutama pada dialog antara Bajja dan Wara, teman sekantornya. Rasanya malah kurang pas untuk dibaca, misalnya pada dialog “cinta akan membawamu kembali” yang kemudian ditambahkan kalimat “hutang akan membawamu kembali”, atau pada bagian “Tuyul dan Mbak Yul” Entah kenapa dialog antara Bajja dan Wara tersebut terasa mengganggu dalam beberapa bagian. Novel ini mungkin disajikan secara simpel dan santai, namun bila gurauan-gurauan tersebut dihilangkan, rasanya tetap akan bisa tercipta suasana cair dan akrab antara Bajja dan Wara. 

Kemudian, karakter tokoh yang ada seharusnya bisa lebih diperkuat lagi. Nama Bajja, Wara, Canta, Arra, rasanya sebanding dengan nama Pak Hangga, Mbak Fati, lalu Vae. Penguatan karakter mungkin dapat dilakukan dengan pemberian makna dan pemberian nama panjang untuk tokoh utama. Sementara nama-nama tokoh dalam novel terkesan asing dan kurang dimaknai –kecuali Bajja yang dijelaskan karena keinginan dan harapan orang tua Bajja-. Bagi saya, karakter tokoh sangat bertalian dengan nama yang disandang.

Hal lain yang sangat sepele dan tidak mengurangi keindahan cerita adalah penulisan beberapa kata ulang. Misalnya penulisan kata “....menemukan e-book-e book menarik....” (hal.16) mungkin bisa disederhanakan  dengan “....menemukan berbagai e-book menarik...”, lalu pada dialog halaman 61, “ ...apakah aku masih menyimpan mie-mie itu?”, mungkin lebih enak dibaca “...apakah aku masih menyimpan mie?”. Juga pada penggunaan kata pada hal. 162 mengenakan jubah dokternya mungkin lebih pas mengenakan jas praktiknya. Dan beberapa penulisan kata yang sungguh teramat sepele dan tidak mengganggu jalannya cerita.

Apapun, novel ini berhasil mengaduk emosi pembacanya, dan memaksa menuntaskan membaca hingga akhir cerita. Entah dengan meneteskan air mata, ataupun menarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan hati atas sendunya cerita... Bravo...!

[un}affair, review Dion Yulianto di Baca Biar Beken!


Judul              : (Un)affair
Pengarang      : Yudhi Herwibowo
Editor             : Anton WP
Cetakan          : Pertama, 2012, 172 halaman
Penerbit         : BukuKatta   

Apakah itu sebuah affair ketika dalam cerita indah itu kedua insan sama-sama mengetahui posisinya masing-masing? Layakkah cinta yang begitu lembut antar dua insan yang berbeda—yang tidak menuntut apa-apa selain sebuah sofa dan rumah kontrakan nan teduh sebagai tempat berteduh dan meluapkan cerita—boleh didakwa sebagai perselingkuhan? Jikalau memang itu harus dianggap demikian, maka alangkah benar jika
cerita dari kota Sendu itu diberi judul “perselingkuhan yang tidak adil” unfair affair --> (Un)affair

Unaffair adalah kisah tentang Bajja dan Arra, dan Wara, dan Vae, dan akhirnya, Canta. Kelima tokoh dari Kota Sendu yang banyak turun hujan inilah yang mewarnai satu lagi kisah tentang cinta tak kesampaian yang berawal dari sebuah sofa. Adalah Bajja, seorang karyawan penyuka hujan yang tiba-tiba kedatangan sosok wanita asing bernama Arra. Ketika itu, Arra  hendak mencetak buku untuk kekasihnya di kantor Bajja. Keunikan dan kemisteriusannya membuat hati Bajja yang dulunya sekeras baja semenjak perginya Canta menjadi luluh, perlahan demi perlahan. Sebuah sofa usang di rumah kontrakan Bajja menjadi saksi tumbuhnya jalinan bukan-cinta-tapi-lebih-dari-sekadar-sahabat antara keduanya. Di mana hubungan unik antara keduanya itu digambarkan dengan indahnya melalui syair-syair narasi dalam novel kecil ini.

            kita bagai kupu-kupu …
            aku kupu-kupu dengan sepasang sayap yang rapuh
            berharap engkau terus mengiringiku terbang
            menjaga sewaktu-waktu aku jatuh (hlm 85)

MySpace Lalu, keputusan itu pun datanglah. Si wanita pecinta sofa itu akhirnya pergi, sebagaimana Canta pergi meninggalkan Bajja. Dan kegalauan pun mulai melanda, yang untungnya tak lama. Sebuah kembang dari masa lalu Bajja kembali mekar menghampiri. Adalah Canta, yang memutuskan untuk  tinggal di kota Sendu, demi menikmati ketenangan dan hujannya--yang senantiasa turun. Dan, Bajja pun mendapatkan semangat dan pola hidupnya kembali, hanya untuk kembali digoyahkan oleh kedatangan kembali Arra ke Kota Sendu. Demikianlah cerita itu terus bergulir. Lalu, apakah Bajja akan kembali kepada Arra, ataukah tetap mempertahankan Canta? Biarkan Unaffair yang akan menjawabnya.

Membaca Unaffair seperti mengingatkan saya dengan pembacaan cerpen. Entahlah, tapi bagi saya aroma sebuah cerpen terasa begitu kuat dari novel yang nyatanya ada beberapa bab ini. Mungkin, saya terlalu membandingkannya dengan karya-karya Mas Yudhi yang terdahulu, terutama yang kumpulan cerpen. Sungguh, rasa sastra itu begitu kental menguar dari lembar-lembar Unaffair, menjadikannya semacam affair yang indah, yang tidak tabu, yang sangat nyaman.

Unaffair menggunakan bahasa baku yang cenderung formal. Tidak banyak kata gaul apalagi alay yang bersliweran dalam novel kecil ini, bahkan pada candaan si Wara yang agak gokil itu. Namun, keteraturan dan kebakuan itu bukannya membuat kaku tapi justru memperindah novel ini, seolah-olah “mengklasikkannya”.  Pembaca akan tetap mampu menikmati ceritanya terlepas ari penggunaan kata-kata lengkap seperti “engkau” dan “mengudak-udaknya”.

Hal lain adalah banyaknya bertebaran kalimat-kalimat reflektif yang membuktikan bahwa si penulis memang seorang pengamat kehidupan yang piawai. Di sela-sela romansa dunia Bajja, terselip pandangan penulis tentang ironisnya promo penjual nisan (“beli satu bonus satu”), atau tentang universalitas musik,

musik mungkin universal, tapi kisah di balik lagu itulah yang membuatnya semakin diterima. Itu artinya sebuah kejaidan seperti dalam lagu itu ternyata terjadi pula di tempat-tempat lain. Jadi seseorang tidak perlu terlalu sedih  akan sesuatu, karena di tempat lain pun, ada orang yang bersedih karena hal yang sama.” (halaman 107)

atau tentang pengaruh antara seseorang terhadap lingkungannya

Aku bisa memaklumi. Kadang sesuatuyang ada di sekitar kita, akan kita bentuk seperti diri kita” (halaman 144) *membacanya sambil melirik timbunan di pojokan  #eh

Ciri lain dari Mas Yudhi yang banyak bertebaran di buku ini adalah penggunaan kalimat-kalimat yang pendek dan seolah terpotong, seperti melambangkan jeda atau ada sesuatu efek yang hendak ditekankan. Dan, Mas Yudhi mampu menerapkan kata-kata berefek ini dengan begitu bagus sehingga bahkan seorang editor seperti saya (hasyah) abaii—yang sebenarnya sudah lazim dalam fiksi.

Mari kita akhiri pembacaan resensi ini dengan satu kutipan galau tapi indah dari salah satu halaman novel ini.

aku bagai mawar merah yang luka
namun tetap merah menyala
karena warna itu sudah kupilih
untukmu, seberapa pun aku luka (hlm 38)


http://dionyulianto.blogspot.com/2012/09/unaffair.html

[un]affair, review Alvina Vanila


Judul Buku :[un]affair
Penulis : Yudhi Herwibowo
Editor : Anton WP
Penerbit : Bukukatta
Tebal : 172 halaman
ISBN : 978-979-1032-78-0

Pernahkah kamu bertemu seseorang di suatu tempat umum, secara tak sengaja entah kenapa bayang wajahnya ada terus di pikiranmu. Bukan mengganggu, sampai suatu hari lagi kalian berjumpa di tempat yang lain, lalu kamu semakin penasaran dengan orang itu, mengapa kalian selalu bertemu?

Bajja pernah mengalami perasaan seperti itu terhadap seorang wanita bernama Arra. Pertemuan pertama mereka sebenarnya hanya sambil lalu di sebuah pemberhentian rel kereta, lalu mereka bertemu lagi di kantor Bajja ketika Arra ingin mencetak sebuah buku tulisannya sendiri. Buku yang sangat spesial, sepertinya, sampai Bajja terkadang merasa risih ketika tak sengaja membaca isi di dalamnya. Memang Arra sendiri sudah berpesan agar buku itu jangan dibaca, tapi tentu saja rasa penasaran ditambah keperluan me-layout membuat Bajja sesekali membaca isinya.

Walau menyilaukan
Pada satu matahari aku akan menuju

Ya, sepertinya buku itu memang buku spesial yang dibuat Arra khusus untuk orang terkasihnya. Tetapi ternyata selama proses buku itu di-layout dan dicetak, Arra seperti mengalami masalah dalam hubungannya dengan si kekasih tersebut.

Seringkali Arra datang ke rumah kontrakan Bajja dan tidur nyaman di sofanya. Meski kedatangan Arra tiba-tiba, dengan raut muka duka, dan masih ada sisa air mata, tapi Bajja memilih diam dan membiarkan Arra menikmati waktunya sendiri. Dan itu terjadi berulangkali, saat malam sepi, gerimis menepi.

Perlahan Bajja sadar bahwa ia menyukai Arra. Yah, meski rasa sukanya lebih dari sekadar sahabat biasa, tapi Bajja begitu menghormati Arra. Ia juga tak berani menyatakan perasaannya, secara ya, Arra kan udah suka sama seseorang.

Suatu hari Arra menghilang dari kehidupan Bajja, sebesar apapun rasa rindu di hati, tapi Bajja tak pernah bertemu lagi dengannya. Yang ada malah kehadiran Canta, mantan kekasih Bajja yang mencoba kembali lagi ke kehidupan Bajja.

Adakah Bajja akan kembali ke Canta? Atau ia malah setia menunggu Arra?

Sebuah jalinan cerita yang manis dengan sentuhan kesenduan di setiap halamannya. Pasti asyik dibaca waktu gerimis, waktu senja, atau sekadar menunggu waktu. Jalan ceritanya ringan, meski bahasanya khas Mas Yudhi (puitis-melankolis) membuat segala hal yang sebenarnya biasa menjadi bacaan yang istimewa.

Tokoh Bajja yang sabar, kalem, pemalu disandingkan dengan Arra yang misterius sehingga membuat penasaran pembaca bagaimana akhir kisah mereka.

Satu kutipan yang saya suka,

Kupikir senja menjadi indah bila kita memiliki jeda untuk tak melihatnya.


http://www.facebook.com/notes/alvina-vanila/unaffair/10151260888549458

Video trailer [un]affair

Selasa, 02 Oktober 2012

Kesulitan mendapatkan [un]affair? Bisa memesan langsung di sini!



Buat kawan2 yang kesulitan mendapatkan buku [un]affair, atau terlalu sibuk ke toko buku, mungkin bisa memesannya langsung di blog ini. Selain langsung dapet tanda tangan, ada discountnya 15% (harga normal rp. 33.000 jadi hanya rp. 28.000). Tapi ini belon termasuk ongkir ya. Sms dulu untuk konfirm ongkir.


Setelah beres, uang bisa ditransfer ke rekening:
BNI : 0100679407
Mandiri : 138-00-0774251-8
CIMB Niaga : 975-01-00313-18-3

Setelah transfer, koonfirmasi alamat ke: 0857 28555 217

Thanks.


Rabu, 26 September 2012

[un]affair, review Kumpulan Sinopsis Dari Okeyzz

Judul: [un]affair
Penulis: Yudhi Herwibowo
Penyunting: Anton WP
Penerbit: Penerbit Katta
Tahun: 2012
Hlm: 172
ISBN: 9789791032780
Harga: IDR 33000
Rated: 3.5/5


Bila benar orang bilang yang namanya jatuh cinta pada pandangan pertama itu nyata, pasti Bajja sedang mengalaminya sekarang. Ia jatuh cinta pada gadis yang berpapasan dengannya di palang pemberhentian kereta. Oh, Wait! Sebelum salah paham, buku ini nggak menyuguhkan romance mengharu-biru lho ya. Hanya sendu. 
Hanya melihat sekilas saja, tidak berkenalan, tidak pula bertanya-tanya. Begitu saja sudah membuat Bajja tidak berhenti memikirkannya. Beruntung, beberapa hari kemudian gadis itu datang meminta Bajja mengerjakan cover design untuk bukunya. Dari situ Bajja tahu namanya Arra.
Kemudian tidak di sengaja keduanya berjumpa kembali dan Arra jadi sering menunggu kepulangan Bajja di depan rumah kontrakannya. Arra datang tanpa pemberitahuan dan tidak bisa di prediksi. Keduanya punya hubungan pertemanan yang aneh. Itu pun kalau bisa di sebut teman. Mungkin tepatnya teman dalam tanda kutip karena Bajja punya perasaan khusus pada Arra. 
Mereka tidak banyak mengobrol. Biasanya Arra datang saat ada masalah kemudian duduk di sofa buluk milik Bajja dan tertidur disana lalu pulang sebelum Bajja bangun. Bajja sungkan bertanya dan Arra pun tidak bercerita. Aneh kan? Tapi entah kenapa saat baca itu rasanya nyaman dan normal-normal aja.
[un]affair ini ditulis dengan gaya bahasa yang indah, cenderung nyastra menurut saya tapi tetep ringan dibaca. Mungkin sedikit oldies karena ada penggunaan kata 'engkau' tapi menurut saya konsisten dan cocok-cocok aja dengan keseluruhan suasana dan gaya bicara karakternya.

Penulis pintar sekali membangun suasana sendu. Ungkapan-ungkapan sendu Bajja mengenai kotanya, betapa ia suka hujan, betapa rindunya ia pada Arra. Setiap kalimatnya sanggup menangkap suasana para karakter. Bajja yang cenderung melankolis dan Arra yang batinnya terluka, sweet
Belum lagi penggambaran latar tempatnya. Kota Sendu. Yudhi Herwibowo mendiskripsikan kota ini dengan apik dan menyeluruh. Pedestrian yang sepi, jalan-jalan di pertokoan, jembatan tua, toko buku tua, suasana kota yang sepi, banyaknya pejalan kaki dan kendaraan lewat hanya sesekali, dst. 
Saya suka deskripsi toko buku tua yang ada dalam [un]affair ini. Begitu masuk tercium bau apak familiar buku-buku tua yang kertasnya di makan usia. Belum lagi rak-raknya tinggi hingga ke langit-langit kayak di Harry Potter. Ada salah satu statement yang saya rasa akan di amini oleh seluruh pecinta buku, termasuk saya,
"Buku apa yang sedang kau cari?"
 
Ia mengangkat bahu, "Entahlah. Bila ke sini aku tak pernah menentukan buku apa yang kucari. Aku hanya datang, dan berharap beruntung menemukan buku yang bagus." ~p.140
Herannya, tak satu kali pun saya menemukan nama kota dalam paragrafnya. Katanya ini kota hujan, letaknya di ujung pulau. Kota kecil yang sepi, nyaman dan sendu. Saya berusaha keras menebak-nebak kota mana yang di jadikan latar dalam [un]affair tapi tidak menemukan satu pun kecocokan karena mana ada sih kota kecil di pulau Jawa yang disebut kota hujan dan senyaman itu. Ternyata itu kota imajinatif yang dianggap kawasan ideal oleh penulis (sumber). 
Belakangan di akhir cerita, saya baru ngeh deh kenapa buku ini di beri judul [un]affair. Tapi nanti kalau saya ceritain malah spoiler, nggak usah aja ya.. haha. Oya, saya nemu satu typo nih, typo di bagian Katalog Dalam Terbitan kayaknya ada salah cetak ya, disitu tertulis terbit pertama kali tahun 2010. Saya sampai crosscheck dua kali ke Goodreads, hehe. Tapi selain itu kayaknya nggak ada typo sama sekali dalam naskah. Hebat!!
Oya, saya suka banget sama covernya!
Waktu pertama kali lihat di Gramedia langsung ambil buku ini sebelum baca judul maupun penulisnya. Haha. Sofa. Udah, itu ajah. Dengan berbagai permainan warna yang membuat cover ini terlihat retro tapi di satu sisi juga keliatan artistik. Untung ya yang di pilih cover Sofa soalnya nyaman aja lihatnya, ini masuk cover favorite banget deh. 
Buku ini buku romance. Namun, ide cerita buku ini nggak mainstream. Dengan tutur bahasa yang indah dan alur lambat [un]affair ini akan menenggelamkanmu dalam suasana Kota Sendu. Cocok banget kamu baca di saat hujan sambil minum cake dan teh *eaa*. Kadang jeda antar scene gitu saya berhenti dan lanjut baca di lain waktu dengan nyaman. Makanya saya lumayan lama bacanya, karena buku ini emang paling empuk dinikmati perlahan. Brava for your first romance book Mas Yudhi XD


PS: I was feeling blue from reading this book, thanks to Mas Yudhi ^^
 
 
http://sinopsisuntukmu.blogspot.com/2012/09/unaffair.html?spref=fb

Review [un}affair oleh Luckty Giyan Sukarno


Pertemuan itu sebenarnya mudah saja, kita yang membuatnya menjadi rumit. (70)

Kadang sesuatu yang ada di sekitar kita, akan kita bentuk seperti diri kita. (hlm. 144)

Cinta yang tak pernah dimiliki seutuhnya, bertahan lebih lama. (hlm. 148)

Adalah Bajja, bekerja di kantor Vanila Ice Design, di bagian divisi desain. Lelaki penyuka hujan, yang selalu akan membiarkan gerimis menjatuhi tubuhnya tanpa rasa enggan dan berlebih.

Hidup terkadang diikuti masa lalu, begitu pula dengan Bajja. Canta adalah masa lalunya.

Entah mengapa, hanya menatap dirinya saja, sanggup membuat jantungku lebih berdegup. (hlm. 48)

Itulah yang dialami Bajja, di saat perlahan-lahan melupakan masa lalunya, muncullah Arra sebagai persinggahan hatinya. Perempuan yang baru saja dikenalnya, namun langsung bisa membuka pintu rasa yang sudah dikuncinya rapat-rapat. Semesta berkonspirasi mempertemukan mereka. Arra, yang kali pertama Bajja lihat di stasiun kereta, ternyata menjadi klien di tempatnya bekerja. Arra ingin menerbitkan buku dengan bantuan desain dan cetak di kantor Bajja.

Aku selalu yakin bila orang yang kelak bersama kita sepanjang usia selalu berasal dari golongan yang sama seperti kita. Maka itu, aku yakin perempuan yang kau pilih..pastilah sebaik dirimu. (hlm. 154)

Engkau bagai angin yang selalu terbang entah ke mana. Aku tak bisa menebak kapan engkau datang… (hlm. 158)

Sofa yang ditampilkan mendominasi cover buku ini sangat merepresentasikan.kehidupan Bajja. Siapa saja bisa memasuki hatinya, seperti halnya sebuah sofa yang bisa dinikmati siapa saja yang ingin singgah, sekedar merebahkan badan untuk menghilangkan rasa lelah atau hanya sekedar untuk minum teh sambil menatap layar kaca.

Aku hanya seorang manusia di antara bentangan perasaan. Terlalu kecil. Terlalu lemah. Jadi bagaimana bisa aku memilih, bila hati yang kemudian memutuskan? (hlm. 64)

Buku yang saya baca di sela-sela #karantina ini memang ringan untuk dibaca. Beberapa teman #karantina juga tertarik membaca buku ini, bahkan ada yang mencatat kalimat dalam buku ini untuk dijadikan status :D

Bahasanya yang mengalir dan mengena. Meskipun dalam percakapan menggunakan tata bahasa yang baku, saya justru menikmatinya. Percakapan monolog dengan Bajja sebagai tokoh ‘aku’, merasuk ke pembaca. Seolah-olah kita merasakan apa yang dialami toko ‘aku’. Sudah lama tidak membaca buku berbentuk novel dengan tatanan bahasa yang baik seperti ini.

Ada kalanya sebuah film hanya sekadar bentuk pengulangan dari sebuah kejadian yang mungkin saja terlewati. (hlm. 82)

Kenapa sebuah lagu sendu mampu mempermainkan perasaan kita sebegitu rupa? (hlm. 107)

Bila bumi tak berotasi mengelilingi matahari, tentu sangat beruntung orang-orang yang ada dalam waktu sunset. Mereka akan terus mendapati sunset yang indah. (hlm. 125)

Sekilas saat membaca awalnya, menerka-nerka bahwa ini adalah cerita cinta antara tiga hati yang harus memilih dan dipilih. Endingnya bener-bener gak disangka. Ternyataaa… jreng-jreng…baca sendiriii.. (◕‿-)

Kita bagai kupu-kupu…
Aku kupu-kupu dengan sepasang sayap yang rapuh
Berharap engkau terus mengiringiku terbang
Menjaga sewaktu-waktu aku jatuh (hlm. 85)

Keterangan Buku:
Judul                : [un] affair
Penulis              : Yudhi Herwibowo
Editor               : Anton WP
Desain cover    : desaincoverok.com
Penerbit            : Katta
Tebal                : 172 hlm.
Terbit               : 2012
ISBN               : 978-979-1032-78-0


http://www.facebook.com/notes/luckty-giyan-sukarno/review-unaffair/10151014082782693

Kamis, 20 September 2012

[un]affair – Yudhi Herwibowo, review Bacaan B.zee

Judul buku : [un]affair
Penulis : Yudhi Herwibowo
Penerbit : Penerbit KATTA, 2012 (cetakan pertama)
Tebal buku : 172 halaman

“Kupikir senja menjadi indah bila kita memiliki jeda untuk tak melihatnya.” (p.125)

Jika kita punya waktu, sekedar untuk memandangi hujan atau menghitung langkah di sepanjang perjalanan. Seandainya kita tinggal di kota sendu, dimana mendung selalu menggelayut dan ketenangan begitu mudah didapatkan. Mungkin sebuah pertemuan singkat bisa menjadi kisah.

Bajja, tokoh utama dalam kisah ini, bisa dikatakan tipikal penghuni kota sendu. Setiap kejadian, sekecil apa pun, seolah menyimpankan rahasia untuknya. Siapa yang menyangka wanita yang diperhatikannya kala berpapasan di perlintasan kereta, tiba-tiba menjadi kliennya, kemudian menjadikan dirinya tempat pelarian.
Arra, wanita itu, akan datang kepada Bajja di saat dia sedang sedih. Tertidur di sofanya, kemudian menghilang di pagi hari. Setelah itu dia menghilang. Tepat di saat Bajja hendak melupakannya, wanita itu hadir lagi. Selalu seperti itu, meski keduanya tahu bahwa posisi mereka tak seharusnya memiliki hubungan yang spesial. Tanpa komitmen, namun selalu terhubung.
Saya tidak akan memberikan sinopsis terlalu panjang, karena bukan pada kisah dua insan itu pembaca dibuai. Saya melihat pergulatan batin seorang pecinta, yang percaya akan tanda-tanda di sekitarnya. Tanda-tanda yang terus berdatangan sehingga sukar untuk diabaikan, namun terlalu indah untuk dipercaya. Dalam kata demi kata yang dirangkainya, penulis seolah mengajak pembaca untuk mengerti apa yang sebenarnya dirasakan oleh tokoh itu, kemudian menilainya sendiri.

Saya sangat jarang membaca novel romansa, namun saya cukup menikmati [un]affair ini. Kata-katanya dirangkai dengan indah, tidak berlebihan, tetapi suasana yang ditimbulkan sangat cukup. Meski kadang menyelipkan bahasa-bahasa yang ‘kekinian’, saya salut akan konsistensinya dalam penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, dalam dialognya sekalipun. Dan hal itu sama sekali tidak menimbulkan kesan kaku. Oleh karena saya memang ‘anti’ pada penggunaan bahasa gaul dalam karya sastra. Hanya saja ada satu kata yang sepertinya tidak disengaja terselip di situ, yaitu kata “kuteriakin” dalam narasi di halaman 56.
Secara keseluruhan, novel ini sangat berpotensi untuk dihabiskan dalam sekali-dua kali duduk. Selain karena bahasanya yang mengalir, saya pribadi merasakan keterikatan dengan tokoh-tokoh maupun kejadian-kejadiannya, yang bisa jadi dirasakan pula oleh semua orang.

Aku tahu, ada kalanya sebuah film hanya sekadar bentuk pengulangan dari sebuah kejadian yang mungkin saja terlewati. (p.82)
Musik mungkin universal, tapi kisah di balik lagu itulah yang membuatnya semakin diterima. Itu artinya sebuah kejadian seperti dalam lagu itu ternyata terjadi pula di tempat-tempat lain. Jadi seseorang seharusnya tak perlu terlalu sedih akan sesuatu, karena di tempat lain pun, ada orang yang bersedih karena hal yang sama. (p.107)

Seringkali saya merasakan pertanda yang sangat jelas tapi meragukan, seperti Bajja. Ada kalanya saya melarikan diri ke ‘sofa’ orang lain seperti Arra, sekedar singgah tanpa berharap, meski terancam kehilangan. Meski begitu, mungkin karena begitu ‘nyata’nya kisah ini, saya sama sekali tak tahu akhir seperti apa yang saya harapkan. Kemudian saat mencapai kalimat terakhir, ternyata saya cukup puas. 4/5 untuk sofa usang di kota sendu.


http://bacaanbzee.wordpress.com/2012/09/19/unaffair/